BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan moral adalah salah satu
topic tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar
manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah
laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan
tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku
yang dapat diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan moral (moral
development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai
apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya
terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan
teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang
boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi
Istilah
moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas
merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti:
Seruan
untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan,
memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan Larangan mencuri,
berzina, membunuh, meminum-minumanan keras dan berjudi.
Seseorang
dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan
nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga tugas penting
yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh
masyarakat dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan
sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti
yang dialami waktu anak-anak.
Remaja
diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke
dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak
kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang
sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru.
Pada masa
remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut
tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu
mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan
mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat
memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil
banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Ada tiga
tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
2.2 Melakukan
Pengendalian Terhadap Perilaku Sendiri
Perkembangan
moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan
nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya
dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral).
Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu,
melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara
dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang
boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Berdasarkan
penelitian empiris yang dilakukan Kohlberg pada tahun 1958, sekaligus menjadi
disertasi doktornya dengan judul The Developmental of Model of Moral Think and
Choice in the Years 10 to 16, seperti tertuang dalam buku Tahap-tahap
Perkembangan Moral (1995), tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai
berikut:
1. Tingkat Pra Konvensional
Pada
tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap
ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi
hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan
perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan ini dapat
dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan
kepatuhan
Akibat-akibat
fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan
nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan
hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat
“baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam
dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang
melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas
Tahap 2: Orientasi
Relativis-instrumental
Perbuatan
yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan
kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan
antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen
kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama
rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan
tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan
menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena
loyalitas, terima kasih atau pun keadilan.
2. Tingkat Konvensional
Pada
tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak
memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan
akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan
pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan
secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau
norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau
kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3: Orientasi kesepakatan
antara pribadi atau orientasi “anak manis”
Perilaku
yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui
oleh mereka. Pada tahap ini terdapat banyak konformitas terhadap gambaran
stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau “alamiah”. Perilaku sering
dinilai menurut niatnya, ungkapan “dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya
menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi “baik”.
Tahap 4 : Orientasi hukuman dan
ketertiban
Terdapat
orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata
tertib/norma-norma sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang
ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri
3. Tingkat Pasca-Konvensional
(Otonom/Berlandaskan Prinsip)
Pada
tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip
moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas
kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan terlepas pula
dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada
tingkat ini:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial
Legalitas
Pada
umumnya tahap ini amat bernada semangat utilitarian. Perbuatan yang baik
cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah
diuji secara kritis dan telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Terdapat
kesadaran yang jelas mengenai relativitas nilai dan pendapat pribadi sesuai dengannya.
Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis,
hak adalah soal “nilai” dan “pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada
sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah
hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (jadi bukan
membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya seperti yang terjadi pada
tahap 4). Di luar bidang hukum yang disepakati, maka berlaku persetujuan bebas
atau pun kontrak. Inilah “ moralitas resmi” dari pemerintah dan
perundang-undangan yang berlaku di setiap negara.
Tahap 6 : Orientasi Prinsip Etika
Universal
Hak
ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang
dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas,
konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas
imperatif kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti
kesepuluh Perintah Allah. Pada hakikat inilah prinsip-prinsip universal
keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat
terhadap manusia sebagai pribadi individual.
2.3 Perkembangan
Agama pada Remaja
Dari sudut
pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan
terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban
terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka
melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Bagi
remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan,
sebagaimana dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan
sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah
lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan biasanya memberikan
penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan
perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi
dirinya.
Dibandingkan
dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami
perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka
baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person
yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari
sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan
pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kognitifnya.
Oleh
karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh
orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam
perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran
keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan
kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Salah satu
area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual.
Walaupun keanekaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk
menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak
mendukung seks pranikah.
Oleh
karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih
penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah
laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat
mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja
masa kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting
dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas
masalah agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan
tinggi, mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Para ahli
umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis
besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga
tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun
penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
Masa awal
remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai berikut:
Sikap
negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang
kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang
pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya. Pandangan
dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar
berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain. Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi
kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual
yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
Masa
remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
Penghayatan
rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja
ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia
penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat
berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya
diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
2.4 Faktor Faktor
Yang Mempengaruhi Perkembangan Moral Remaja
Menurut pada ahli psikosinalisis disamping faktor faktor
kognitif,faktor lingkungan sosial penting artinya bagi perkembangan moral
remaja.remaja menjadikan orang tua maupun orang dewasa lainnya sebagai model
atau melatih mereka langsung mengenai moral.melatih remaja tentang moral
dilakukan melalui disiplin yang dilakukan orang tua terhadap remaja.
1) Orang
tua/guru sebagai model
Menurut
freud(dusek,1977)baik remaja pria maupun wanita peniru tingkah laku orang
tua(yang sejenis)adalah karena keinginan untuk menjadi seperti orang tua,anak
laki laki ingin seperti ayahnya dan anak perempuan ingin seperti
ibunya,peniruan terhadap orang tua bukan karena takut tidak diterima,selanjutnya
bronfenbremer(1960)mengemukakan bahwa seoran remaja meniru seluruh atau
sebagian aspek aspek tingkah laku orang tua
2) Disiplin
yang diberikan orang tua
Dari
berbagai penelitian yang dilakukan hoffman dan saitzlein tentang hubungan
antara disiplin orang tua dan perkembangan moral remaja dapat disimpulkan
sebagai berikut
a.
Orang tua yang menonjolkan kekuasaan dalam
mendisipilnkan remaja,dapat melemahkan perkembangan moral remaja
b.
Orang tua yang menerapkan disiplin penarikan
cinta,menimbulkan pengaruh yang buruk atau agresif bagi perkembangan remaja
c.
Orang tua yang menerapkan displin induksi dam
mendisplinkan remaja meningkatkan perkembangan moral
3) Interaksi
dengan teman sebaya
Piaget
menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya dan kemampuan bermain peranan
meningkatkan perkembangan moral remaja (dusek,1977). Interaksi dengan teman
sebaya dan kemampuaan bermain peran terjadi karena telah dikuasainya
kemampuan”role taking”,yaitu kemampuan memahani sesuatu atau peristiwa dari
sudut pandangan orang lain,misalnya,remaja yang memiliki kemampuan role taking
tinggi,dapat memahami kekecewaan temannya kalau pacar temannya diakrabinya
secara berlebihan.
4) Usaha
usaha guru dan orang tua dalam mengembangkan moral remaja
Menurut
piaget dan kohlberg mengembangkan empati sebagai unsur afeksi,sangat penting
bagi perkembangan moral anak.anak perlu
dilatih dan diberi pengalaman untuk dapat merasakan sesuatu menurut pandangan
orang lain(Duska&whelen,1982;105).dengan demikian pada diri anak akan
terbentuk tanggung jawab untuk dapat merasakan sesuatu yang dialami oleh orang
lain.”role playing”(bermain peran)merupakan salah satu teknik yang dapat
dilakukan guru untuk melatih empati anak karena anak diberi kesempurnaan untuk
berperan sebagai orang lain yang sedang dimainkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa perkembangan dan pertumbuhan anak sangat dipengaruhi
oleh lingkungan. Setiap tahap perkembangan individu harus sejalan dengan
perkembangan aspek-aspek lainnya, yaitu fisik, psikis, emosional, moral dan
sosial. Karakristik di dalam pertumbuhan anak yaitu pertumbuhan fisik atau
jasmani, perkembangan intelektual dan emosional, perkembangan Moral, sosial,
dan sikap. Pada perkembangannya anak-anak dipengaruhi oleh peniruan . dan
pendidik perlu memahami bahwa remaja yang dalam proses perkembangan dan
perubahan boleh menimbulkan pelbagai masalah. Pendidik perlu menggunakan
pendekatan psikologi pendidikan. Sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan,
perlu diupayakan suatu sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian dan
ketrampilan peserta didik yang unggul, yaitu Learning to Know (belajar untuk
tahu), Learning to Do (Belajar untuk melakukan), Learning to be (Belajar untuk
menjadi diri sendiri), Learning To Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)
dalam pengembangan Potensi remaja ,potensi peserta didik merupakan proses yang
disengaja dan sistematis dalam membiasakan/mengkondisikan peserta didik agar
memiliki kecakapan dan keterampilan hidup.
3.2 Saran
Dalam perkembangan anak, orang tua diharapkan memberikan
perhatian yang maksimal kepada anaknya sehingga anak tidak terjerumus pada
hal-hal yang tidak benar dan menyimpang norma-norma yang ada pada masyarakat
dan nantinya anak tersebut dapat tumbuh menjadi anak yang berguna bagi dirinya,
bangsa dan Negara. Guru dan orang tua seharusnya bekerja sama dalam
meningkatkan kualitas pengawasan belajar pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
__________remaja.html
No comments:
Post a Comment