BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Iran dahulu dikenal dengan nama
Persia. Penduduknya terdiri atas dua kelompok, Bangsa Media dan Bangsa Persia,
yang berpindah ke Persia dari Asia Tengah lebih dari 2800 tahun lalu. Di
sinilah terbentuk sebuah kerajaan besar, yaitu kerajaan Persia, yang mempunyai
wilyah kekuasaan yang besar dan penduduk yang banyak serta mempunyai peradaban
yang sangat maju.
Di daerah kekuasaannya itu muncul suatu agama baru yang tumbuh dalam suatu kultus yang sangat sederhana sekali pada masa itu, yaitu Agama Zoroaster. Agama ini muncul dari seorang yang bernama Zarathustra. Agama ini mengajarkan banyak hal tentang kehidupan di dunia. Agama ini menyembah api sebagai suatu simbol kesucian dalam peribadatannya.
Ketika Persia menguasai
daerah-daerah yang luas, awalnya mengusir bangsa Yahudi dari palestina, tapi
semenjak Koresy memerintah, bangsa Yahudi boleh kembali ke daerah daratan
tempat mereka tinggal sebelumnya. Hingga pada abad ke-7 Islam datang ke Persia.
Terjadi peradaban yang sangat besar sekali pada masa itu dan masa puncak
kejayaan pada masa Dinasti Safawi abad ke-16. Islam Syiah sangat berpengaruh
dalam kekuasaan ini. Dalam peradabannya yang sangat maju, pemakalah ingin
memaparkan semua tentang ruang lingkup Agama Persia sesuai dengan tujuan pada
makalah ini yang akan dibahas.
1.2.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah bangsa Persia ?
2. Bagaimana
peradaban yang terjadi di Persia ?
1.3.
Tujuan
Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini adalah bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
oleh guru bidang studi sejarah, selain
itu juga sebagai bahan refenrensi bagi para pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Persia
Dari tulisan-tulisan sejarah, peradaban Iran yang pertama ialah Proto-Iran, diikuti dengan peradaban Elam. Pada milenium kedua, dan ketiga, Bangsa
Arya hijrah ke Iran, dan mendirikan
kekaisaran pertama Iran, Kekaisaran Media (728SM-550SM). Kekaisaran ini telah menjadi simbol pendiri
bangsa, dan juga kekaisaran Iran, yang disusul dengan Kekaisaran
Akhemeniyah
(648SM–330SM) yang didirikan oleh Koresh yang Agung.
Koresh Agung juga terkenal sebagai pemerintah pertama yang
mewujudkan undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan, tertulis di atas artefak
yang dikenal sebagai Silinder Koresh. Ia juga merupakan pemerintah pertama yang memakai gelar Agung dan juga Shah Iran. Di zamannya, perbudakan
dilarang di kawasan-kawasan taklukannya (juga dikenal sebagai Kekaisaran
Persia.) Gagasan ini kemudian memberi dampak yang besar pada
peradaban-peradaban manusia setelah zamannya.
Kekaisaran Persia kemudian diperintah oleh Cambyses selama tujuh tahun (531SM - 522SM)
dan kemangkatannya disusul dengan perebutan kuasa. Akhirnya Darius yang Agung (522SM -486SM) menang, dan dinyatakan
sebagai raja. Ibu kota Persia pada zaman Darius dipindahkan ke Susa dan ia mulai membangun Persepolis. Sebuah terusan di antara Sungai Nil dan Laut Merah turut dibangun, dan menjadikannya pelopor untuk pembangunan
Terusan Suez. Sistem jalan juga turut diperbaharui, dan sebuah jalan
raya dibangun menghubungkan Susa, dan Sardis. Jalan raya ini dikenal sebagai Jalan
Kerajaan.
Selain itu, mata uang syiling dalam bentuk daric (syiling emas) dan juga Shekel (syiling perak) diperkenalkan ke seluruh
dunia. Bahasa Persia Kuno turut diperkenalkan, dan
diterbitkan di dalam prasasti-prasasti kerajaan.
Di bawah pemerintahan Koresh yang Agung, dan Darius yang
Agung, Kekaisaran Persia menjadi sebuah kekaisaran yang terbesar, dan terkuat
di dunia zaman itu. Pencapaian utamanya ialah sebuah kekaisaran besar pertama
yang mengamalkan sikap toleransi, dan menghormati budaya-budaya, dan
agama-agama lain di kawasan jajahannya.
Gbr. Peta Kerajaan Persia.
2.2. Peradaban Persia
A. Kondisi Moral
Kemerosotan moral merebak secara
luas. Demikian parahnya, sampai-sampai Persia terjerumus ke dalam perangkap
pernikahan sedarah. Kisra Yazdajird II menikahi putrinya lalu membunuhnya.
Sementara Bahrâm Chobin menikahi saudarinya sendiri. Ada pula yang menikahi
ibunya sendiri. Penyakit ini tidaklah lazim terjadi pada bangsa-bangsa lain di
zaman itu, bahkan dipandang sangat menjijikkan. Masyarkat bangsa-bangsa lain
ketika itu mengingkari perilaku bangsa Persia yang melakukan pernikahan sedarah
ini.
Pada zaman kekuasaan Kavadh, muncullah
seorang lelaki yang disebut-sebut sebagai filsuf, padahal sejatinya ia adalah
musibah dan bencana besar yang menjerumuskan Persia ke dalam lubang kehancuran.
Ia berkata: "Manusia itu seluruhnya sama dalam segala hal."
Ungkapan ini secara zahir terlihat baik, namun intinya sangatlah buruk. Sebab,
ia sebenarnya bukan menyerukan persamaan hak, kewajiban, perlakuan, dan
penghormatan, tetapi menyerukan bersekutunya manusia dalam kepemilikan harta
dan perempuan. Artinya, mereka semua dipandang sama dalam memiliki dua hal ini.
Jadi, pada hakikatnya, ini merupakan propaganda komunisme yang sangat
menjijikkan.
Seorang lelaki yang kuat kemudian
dapat masuk ke dalam rumah lelaki yang lemah, lalu menguasai harta dan
istrinya, sementara lelaki yang lemah itu tidak bisa berbuat apa-apa, karena
komunisme telah menjadi agama mereka. Tidak ada penghormatan terhadap
kepemilikan pribadi, sehingga orang-orang tidak mau bekerja, lantaran tidak
bisa mengambil manfaat dari upah yang mereka peroleh. Pencurian pun merebak,
karena ini merupakan cara paling mudah untuk mendapatkan harta. Kisra Kavadh
merestui semua fenomena ini, karena menganggapnya sebagai agama, sehingga
rusaklah seluruh manusia yang ada di masyarakat ketika itu.
B. Kondisi Sosial
Menyucikan para Kisra: Mereka meyakini
bahwa di nadi para Kisra (raja-raja Persia) mengalir darah tuhan. Mereka berada
di atas manusia dan di atas undang-undang, sehingga rakyat pun menyembah
mereka. Karena itu, setiap orang yang menemui Kisra akan bersujud ke tanah, dan
tidak akan berdiri sampai mendapat izin untuk berdiri.
Masyarakat Persia menyumbat mulut
mereka dengan kain putih tipis apabila menghadap Kisra, supaya nafas mereka
tidak mencemari sang paduka Kisra yang mulia. Demikianlah yang mereka lakukan.
Bandingkan dengan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—yang apabila
seseorang datang dan menjabat tangan beliau, beliau tidak akan melepaskan
tangan beliau sampai orang itu sendiri yang melepaskan tangannya terlebih
dahulu. Beliau tidak akan memalingkan wajah dari wajah orang itu sampai orang
itu sendiri yang terlebih dahulu memalingkan wajahnya. Dan tidak pernah beliau
terlihat menjulurkan kaki di hadapan teman duduk beliau, sebagai bentuk
kerendahan hati beliau. Hal itu disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dari Anas—Semoga Allah
meridhainya.
Kedudukan manusia di dalam
masyarakat Persia tunduk di bawah aturan kasta-kasta sosial yang sangat
ekstrem. Hal ini tentu saja merupakan kehinaan besar bagi harkat kemanusiaan.
Masyarakat manusia di sana terbagi ke dalam tujuh kasta:
- Kasta para Kisra yang merupakan kasta tertinggi dan paling mulia;
- Kasta para ningrat, yaitu tujuh keluarga mulia yang kemuliaannya tidak dapat berpindah kepada yang lain;
- Kasta para tokoh agama;
- Kasta para panglima pasukan dan ahli perang;
- Kasta para cendikiawan, seperti para penulis, dokter, dan penyair (pujangga). Tidak heran jika kebodohan dan khurafat merajalela di tengah masyarakat karena para ilmuwan diletakkan pada kasta yang rendah;
- Kasta para kepala desa dan pemungut pajak;
- Kasta rakyat biasa. Jumlah mereka lebih dari 90% penduduk Persia. Mereka adalah para pekerja, petani, pedagang, prajurit, dan budak. Mereka tidak memiliki hak sama sekali, bahkan sampai harus diikat dengan rantai dalam peperangan. Pada saat perang Ubullah, peperangan pertama Umat Islam melawan Persia di bawah komando Panglima Khalid ibnul Walid—Semoga Allah meridhainya, terdapat 60 ribu pasukan persia yang diikat dengan rantai supaya mereka tidak lari dari peperangan. Setiap rantai mengikat sepuluh orang prajurit. Bagaimana mungkin para prajurit dengan rantai yang mengikat mereka itu mampu memerangi sebuah kaum yang disebut oleh Khalid ibnul Walid—Semoga Allah meridhainya—dalam suratnya kepada penguasa Ubullah: "Kami datang kepada kalian bersama orang-orang yang mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai hidup."
C. Kondisi Politik
Raja-raja di Persia hanya berasal
dari satu keluarga, yaitu keluarga Sasania. Jika tidak menemukan lelaki dewasa
dari keluarga Sasania untuk diangkat sebagai raja, mereka akan mendaulat anak
laki-laki yang masih kecil dari keluarga itu sebagai raja mereka, sebagaimana
yang mereka lakukan terhadap Ardashir putra Sheroya yang baru berumur 7 tahun.
Jika anak kecil juga tidak ada, mereka akan mengangkat seorang perempuan
sebagai raja, sebagaimana mereka lakukan terhadap Borandukht putri Kisra.
D. Agama
Dalam sejarah, agama awal bangsa
Persia adalah agama Zoroaster, yaitu agama yang menyembah dua Tuhan dalam
kehidupannya; Deva dan Ahura, sebagai menifestasi dari kekuatan yang baik dan
kekuatan yang jahat. Geiger, di dalam karyanya, Civilization of Eastern Iranians in Ancient Times, menjelaskan
bahwa Zoroaster mewarisi dua prinsip fundamentalis dari leluhur suku Arya,
yaitu (1) adanya hukum di dalam alam dan (2) adanya konflik di dalam alam. Agama
Zoroaster ini mempunyai dua jenis sekte, yakni Mani dan Mazdak. Sekte Mani
adalah yang pertama kali mengemukakan gagasan bahwa alam semesta disebabkan
oleh kegiatan setan, dan karenanya pada dasarnya alam itu adalah jahat. Adapun
sekte.
Mazdak mengajarkan bahwa
keanekaragaman hal-hal bersumber dari campuran dua prinsip yang abadi dan
mandiri yang disebutnya Shid (terang) dan Tax (gelap). Ajaran sekte ini
berpendapat bahwa kenyataan percampuran terang dengan gelap dan pemisahan akhir
keduanya, benar-benar aksidental dan sama sekali bukanlah hasil dari memilih.
Tuhan, menurut Mazdak, memiliki sensasi, dan mempunyai empat energi utama dalam
kehadiran abadinya, yaitu daya untuk membedakan, mengingat, mengerti, dan
bahagia.
Menurut Mazdak, semua manusia adalah
sama, dan faham tentang milik perseorangan diperkenalkan oleh setan jahat, yang
tujuannya adalah mengubah jagad raya Tuhan ini menjadi arena kesengsaraan tanpa
akhir. Aspek ajaran Mazdak telah mengguncang kesadaran Zoroaster, dan pada
akhirnya mengakibatkan kehancuran para pengikutnya, meskipun sang Tuhan telah
membuat api kudus, dan bersaksi bagi kebenaran misinya. (Iqbal, 1990: 42-45).
Aktivitas keagamaan bangsa Persia di
Iran saat ini didominasi oleh ajaran Islam dengan persentase 98,8%. Dari hampir
seratus persen itu, mayoritasnya adalah penganut mazhab Syi’ah Imamiah. Adapun
persentase agama-agama lainnya adalah sebagai berikut: Kristen 0,8%, Yahudi
0,2%, dan Zaratustra 0,1% (Kedutaan Besar Iran; 58).
E.
Tempat Tinggal Bangsa Persia
Mayoritas bangsa Persia
berdomisili di Iran. Selain itu, bangsa Persia juga menjadi minoritas di
beberapa negara lainnya, seperti Afganistan, Tajikistan, dan Uzbekistan, bahkan
Amerika Serikat, Kuwait, Turki, Uni Emirat Arab, serta beberapa negara lainnya
di Timur Tengah. Secara terperinci jumlah bangsa Persia di setiap negara
adalah sebagai berikut: Iran sebanyak 22.986.329 jiwa, Afghanistan
612.192 jiwa, Bahrain 94.460 jiwa, Australia 27.095 jiwa, Austria 11.465 jiwa,
dan Azerbaijan 1.160 jiwa
Gbr.
Salah satu seni bangunan bangsa Persia.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bangsa
Persia saat ini, yang terwakili Iran, memang bukanlah bangsa yang terlihat
unggul (baca: adikuasa) dalam percaturan dunia. Namun, sejarah mencatat bahwa
bangsa Persia pernah menjadi salah satu bangsa dengan peradaban tingkat tinggi
sehingga menjadi bangsa yang disegani. Naik turun peradaban suatu bangsa, tidak
hanya Persia, memang dipengaruhi oleh faktor kelebihan dan kelemahan yang
dimiliki bangsa tersebut. Dengan mendayagunakan kelebihan yang dimilikinya,
Persia pun dapat menorehkan tinta emas sejarah. Hanya saja, pada saat yang
lain, kelemahannya terkadang harus membuatnya berjalan di bawah keistimewaan
bangsa lain.
Peradaban awal utama yang terjadi pada daerah yang
sekarang menjadi negara Iran, adalah peradaban kaum Elarnit, yang telah
bermukim di daerah Barat Daya Iran sejak tahun 3000 S.M. Pada tahun 1500 S.M.
suku Arya mulai bermigrasi ke Iran dari Sungai Volga utara Laut Kaspia dan dari
Asia Tengah. Akhirnya dua suku utama dari bangsa Arya, suku Persia dan suku
Medes, bermukim di Iran. Satu kelompok bermukim di daerah Barat Laut dan
mendirikan kerajaan Media. Kelompok yang lain hidup di Iran Selatan, daerah
yang kemudian oleh orang Yunani disebut sebagai Persis vang menjadi asal kata
nama Persia. Bagaimanapun juga, baik suku bangsa Medes maupun suku bangsa
Persia menyebut tanah air mereka yang baru sebagai Iran, yang berarti
"tanah bangsa Arya".
3.2.
Kritik dan Saran
Penulis berharap dalam penulisan makalah ini dapat
memberikan bahan referensi bagi para pembaca, selain itu juga penulis berharap
banyak kritikan dan saran yang diberikan oleh para pembaca kepada penulis yang
sifatnya membangun, agar kiranya dalam penulisan makalah di masa yang akan
dating.jauh lebih sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment