BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia
adalah bangsa yang sangat besar, tetapi banyak masyarakat yang tidak tahu akan
nenek moyang bangsa Indonesia sendiri. Dengan semakin berkembangnya zaman,
semakin banyak masyarakat yang tidak perduli akan sejarah nenek moyangnya
sendiri. Hal ini mengakibatkan Sumber Daya Manusia di Indonesia masih di
ragukan. berangkat adri permasalahan ini, kami ingin membahas tentang Asal Usul
dan Persebaran Manusia di Kepulauan Indonesia.
1.2. Identifikasi Masalah
Melihat
semua hal yang melatarbelakangi Kebudayaan Asal Usul dan Persebaran Manusia di
Kepulauan Indonesia maka, kami menarik beberapa point-point di dalammya yaitu :
1.
Evolusi Manusia
2.
Asal Usul Manusia Indonesia
3.
Pessebaran Manusia di Kepulauan
Indonesia
1.3. Perumusan Masalah
Atas
dasar penentuan latar belakang dan identifikasi masalah diatas, maka kami dapat
mengambil perumusan masalah sebagai berikut: ”Bagaimana Asal Usul Manusia
Indonesia dan Persebarannya di Kepulauan Indonesia ?”
1.4. Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini dilakukan untuk dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat bermanfaat
bagi para remaja dalam pemahaman tentang Asal Usul dan Persebaran Manusia di
Kepulauan Indonesia. Secara terperinci tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mengetahui apa itu teori evolusi
manusia !
2.
Mengetahui bagaimana asal usul manusia di
Indonesia !
3.
Mengetahui bagaimana persebaran manusia
di kepulauan Indonesia !
1.5. Metode Penulisan
Untuk
mendapatkan data dan informasi yang di perlukan, penulis mempergunakan teknik
studi kepustakaan atau studi pustaka. Tidak hanya itu, kami juga mencari bahan
dan sumber-sumber dari media masa elektronik yang berjangkauan internasional
yaitu, Internet.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1 Teori Evolusi Manusia
Sebelum membahas
mengenai asal-usul manusia Indonesia, terlebih dahulu kita bahas mengenai teori
evolusi. Teori evolusi membahas tentang asal-usul makhluk manusia beserta
perkembangan fisik manusia. Teori evolusi merupakan kajian yang berakar pada
filsafat materialistis. Filsafat materialisme berkembang dan menyebar luas pada
abad ke-19. Filsafat materialisme berusaha menjelaskan penciptaan alam ini
semata-mata karena faktor-faktor yang bersifat materi. Para pendukung filsafat
ini berpandangan bahwa segala sesuatu muncul tidak melalui proses penciptaan,
melainkan melalui sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi
teratur. Pada pertengahan abad ke-19, filsafat materialisme melahirkan teori
evolusi.
Tokoh yang
mengemukakan teori evolusi ialah seorang naturalis yang berasal dari Inggris,
yaitu Charles Robert Darwin (1809-1882). Ia memiliki ketertarikan yang
kuat pada alam dan makhluk hidup. Minat tersebut pada akhirnya mendorong dia
untuk bergabung dalam ekspedisi pelayaran dengan sebuah kapal bernama H.M.S.
Beagle, yang berangkat dari Inggris tahun 1832. Dia mengarungi berbagai
belahan dunia selama lima tahun. Pengamatan alam yang dia lakukan melalui
perjalanan tersebut menumbuhkan perasaan takjub pada dirinya dengan melihat
begitu banyaknya ragam spesies makhluk hidup. Fokus perhatiannya terutama
ditujukan pada jenis-jenis burung finch di Kepulauan Galapagos. Ia mengira
bahwa variasi pada paruh burungburung tersebut disebabkan oleh adaptasi mereka
terhadap habitatnya. Dengan pemikiran ini, ia menduga bahwa asal-usul kehidupan
dan spesies berdasar pada konsep “adaptasi terhadap lingkungan”. Menurut
Darwin, aneka spesies makhluk hidup tidak diciptakan secara terpisah dan
beragam melainkan berasal dari nenek moyang yang sama. Kemudian muncul berbagai
jenis dan ragam makhluk hidup karena proses adaptasi mereka yang berbeda akibat
kondisi alam yang berbeda. Darwin mengemukakan gagasan yang menyatakan bahwa
individu-individu yang beradaptasi pada habitat mereka dengan cara terbaik,
akan menurunkan sifat-sifat mereka kepada generasi berikutnya. Sifat-sifat yang
menguntungkan ini lama-kelamaan terakumulasidan mengubah suatu individu menjadi
spesies yang sama sekali berbeda dengan nenek moyangnya. Menurut Darwin,
manusia adalah hasil paling maju dari mekanisme ini. Darwin menamakan proses
ini sebagai “evolusi melalui seleksi alam” (survival of the fittest).
Ia kemudian mempublikasikan pandangannya ini dalam bukunya yang berjudul “The
Origin of Species, By Means of Natural Selection” pada tahun 1859.
Meskipun demikian, nampaknya Darwin sendiri mempunyai beberapa keraguan dalam
pengungkapan teorinya tersebut. Hal ini terungkap dalam salah satu bab yang
dituangkannya dalam buku tersebut yang diberi judul “Difficulties of the
Theory”. Kesulitan-kesulitan ini terutama pada catatan fosil dan
organ-organ rumit makhluk hidup (misalnya mata) yang tidak mungkin dijelaskan
dengan konsep kebetulan, dan naluri makhluk hidup. Darwin berharap
kesulitan-kesulitan ini akan teratasi oleh penemuan-penemuan baru.
Walau bagaimanapun,
nampaknya pada saat penyusunan teorinya, Darwin diilhami oleh para ahli biologi
evolusionis sebelumnya, terutama seorang ahli biologi Prancis, Lamarck. Menurut
Lamarck, makhluk hidup mewariskan ciri-ciri yang mereka dapatkan selama
hidupnya dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga terjadilah
evolusi. Sebagai contoh, jerapah berevolusi dari binatang yang menyerupai
antelop. Perubahan itu terjadi dengan memanjangkan leher mereka sedikit demi
sedikit dari generasi ke generasi ketika berusaha menjangkau dahan yang lebih
tinggi untuk memperoleh makanan. Darwin menggunakan hipotesis Lamarck tentang
“pewarisan sifat-sifat yang diperoleh” sebagai faktor yang menyebabkan makhluk
hidup berevolusi.
Di dalam proses evolusi manusia terdapat beberapa proses penting yang terjadi. Pertama,
adalah sikap tubuh dan cara bergerak. Sikap tegak merupakan fase yang
sangat penting dan memberikan pengaruh besar pada proses evolusi selanjutnya.
Sikap tegak dimulai dengan kemampuan duduk tegak, berjalan tegak, dan berakhir
dengan berdiri tegak untuk waktu yang lama. Kemampuan berdiri tegak
mempengaruhi pembebasan tangan dari tugas menunjang badan. Akibatnya, tangan
dapat digunakan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang sebagian besar
pekerjaannya berhubungan dengan membuat dan mempergunakan alat, menyelidiki
lingkungan, mencari, membawa, mempersiapkan dan menyuap makanan, memelihara
kebersihan badan, mempertahankan diri, dan mengasuh anak-anak. Dari sini kita
mulai melihat perbedaan antara manusia dengan hewan primata lainnya; mereka
menggunakan mulut untuk melakukan pekerjaan seperti itu, tetapi manusia
melakukannya dengan tangan.
Kedua,
evolusi kepala termasuk di dalamnya adalah otak. Evolusi kepala berhubungan
erat dengan evolusi muka sebagai bagian teratas system pencernaan dan
pernapasan serta evolusi otak. Perubahan makanan dan cara mengolahnya
mempengaruhi struktur mulut sebagai alat pengunyah. Apalagi setelah
ditemukannya api semakin menambah kemajuan manusia dalam mengolah makanan.
Akibatnya ialah pekerjaan mengunyah semakin berkurang, yang selanjutnya
mengakibatkan reduksi alat pengunyah. Gigigigi pipi mengecil, demikian pula
rahang dan otot-ototnya. Peranan alat pembau semakin berkurang, yang
berpengaruh terhadap fungsi bagian otak yang berhubungan dengan pembauan.
Sementara di sisi lain, volume otak semakin membesar dan berpengaruh pada
berkembangnya keinginan dan prakarsa serta pengendaliannya, kepribadian, daya
simak, pemikiran, dan asosiasi serta integrasi pengalaman.
Evolusi yang ketiga
berkaitan dengan perkembangan biososial manusia. Evolusi pada aspek ini
menyangkut tiga hal penting, yaitu: pembuatan alat, organisasi sosial, dan
komunikasi dengan bahasa. Evolusi dalam perubahan sikap tubuh mempengaruhi
pembebasan tangan dari pekerjaan menumpu badan. Hal ini kemudian diperkuat lagi
dengan semakin berkembangnya kemampuan otak untuk berpikir. Dampaknya ialah
timbulnya kepandaian baru dalam pemakaian dan pembuatan alat-alat dari kayu,
batu, dan sebagainya. Kepandaian ini menimbulkan perubahan dalam cara mencari
makan dan mengolah makanan. Kemungkinan berburu binatang-binatang besar mulai
ada dan ini perlu dilakukan secara berkelompok. Bekerja sama secara kelompok
tentunya memerlukan pengorganisasian dan penggunaan isyaratisyarat dalam
mengatur siasat bersama. Inilah yang pada akhirnya mendorong terciptanya
komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal sebab komunikasi akan sangat
diperlukan untuk mengatur kehidupan secara berkelompok/bersama.
Teori Darwin tentang
asal muasal manusia yang berasal dari makhluk sejenis kera perlu mendapat
pembuktian. Artinya, untuk sampai pada bentuk manusia seperti sekarang ini
haruslah ada sejenis makhluk peralihan yang dapat menjembatani antara kera
dengan manusia. Makhluk tersebut tentunya secara fisik dan perkembangan otak
serta biososial lainnya mencerminkan peralihan dari makhluk sejenis kera menuju
bentuk seperti manusia sekarang ini. Pada kurun waktu beberapa tahun makhluk
ini tidak dapat ditemukan sehingga kemudian dikenal konsep missing link yang
artinya terputusnya rantai yang dapat menghubungkan antara makhluk awal dengan
manusia modern. Pada akhirnya, banyak orang meragukan teori yang dikemukakan oleh
Darwin. Untuk membuktikan kebenaran teori Darwin, perlu ditemukan terlebih
dahulu makhluk peralihan tadi. Missing link pada akhirnya dapat
dipecahkan oleh penemuan fosil yang ditemukan oleh Eugene Dubois di
daerah Trinil, Jawa Timur, pada tahun 1891. Fosil tengkorak manusia yang
kemudian diberi nama Pithecanthropus Erectus ini diklaim oleh
Dubois sebagai makhluk peralihan dari kera menuju manusia. Akan tetapi
nampaknya keyakinan Dubois ini pada akhirnya dapat diruntuhkan dengan
ditemukannya fosil lain, yaitu Meganthropus Palaeojavanicus, yang
diperkirakan usianya lebih tua dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus.
2.2 Asal Usul Manusia Di Kepulauan Indonesia
Indonesia termasuk salah satu negara tempat ditemukannya manusia purba.
Penemuan manusia purba di Indonesia dapat dilakukan berdasarkan fosil-fosil
yang telah ditemukan. Fosil adalah tulang belulang, baik binatang maupun
manusia, yang hidup pada zaman purba yang usianya sekitar ratusan atau ribuan
tahun. Adapun untuk mengetahui bagaimana kehidupan manusia purba pada saat itu,
yaitu dengan cara mempelajari benda-benda peninggalannya yang biasa disebut
dengan artefak.
Manusia purba yang
ditemukan di Indonesia memiliki usia yang sudah tua, hampir sama dengan manusia
purba yang ditemukan di negara-negara lainnya di dunia. Bahkan Indonesia dapat
dikatakan mewakili penemuan manusia purba di daratan Asia. Daerah penemuan
manusia purba di Indonesia tersebar di beberapa tempat, khususnya di Jawa. Penemuan
fosil manusia purba di Indonesia terdapat pada lapisan pleistosen. Salah
satu jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia hampir memiliki kesamaan
dengan yang ditemukan di Peking Cina, yaitu jenis Pithecanthropus Erectus.
Penelitian tentang
manusia purba di Indonesia telah lama dilakukan. Sekitar abad ke-19 para
sarjana dari luar meneliti manusia purba di Indonesia. Sarjana pertama yang
meneliti manusia purba di Indonesia ialah Eugene Dubois seorang
dokter dari Belanda. Dia pertama kali mengadakan penelitian di gua-gua di
Sumatera Barat. Dalam penyelidikan ini, ia tidak menemukan kerangka manusia.
Kemudian dia mengalihkan penelitiannya di Pulau Jawa. Pada tahun 1890, E.
Dubois menemukan fosil yang ia beri nama Pithecanthropus Erectus di
dekat Trinil, sebuah desa di Pinggir Bengawan Solo, tak jauh dari Ngawi
(Madiun). E. Dubois pertama-tama menemukan sebagian rahang. Kemudian pada tahun
berikutnya kira-kira 40 km dari tempat penemuan pertama, ditemukan sebuah
geraham dan bagian atas tengkorak. Pada tahun 1892, beberapa meter dari situ
ditemukan sebuah geraham lagi dan sebuah tulang paha kiri.
Untuk membedakan
apakah fosil itu, fosil manusia atau kera, E.Dubois memperkirakan isi atau
volume otaknya. Volume otak dari fosil yang ditemukan itu, diperkirakan 900 cc.
Manusia biasa memiliki volume otak lebih dari 1000 cc, sedangkan jenis kera
yang tertinggi hanya 600 cc. Jadi, fosil yang ditemukan di Trinil merupakan
makhluk di antara manusia dan kera. Bentuk fisik dari makhluk itu ada yang
sebagian menyerupai kera, dan ada yang menyerupai manusia. Oleh karena bentuk
yang demikian, maka E. Dubois memberi nama Pithecanthropus Erectus artinya
manusia-kera yang berjalan tegak (pithekos = kera, anthropus =
manusia, erectus = berjalan tegak). Jika makhluk ini kera, tentu lebih
tinggi tingkatnya dari jenis kera, dan jika makhluk ini manusia harus diakui
bahwa tingkatnya lebih rendah dari manusia (Homo Sapiens).
Sebelum menemukan
fosil tempurung kepala (cranium) dan tulang paha tengah (femur),
Dubois memulai pencariannya dengan berlandaskan pada tiga teori. Ketiga dasar
teori tersebut selain digunakan sebagai acuan akademik sekaligus untuk
meyakinkan pemerintah kolonial Belanda, bahwa pencarian missing link dalam
mempelajari evolusi manusia penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Ingat!
Pada masa itu Indonesia masih berada dalam kekuasaan pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
Perhatikanlah tiga
landasan teori yang dikemukakan oleh Dubois. Pertama, seperti halnya dengan
Darwin, Dubois percaya bahwa evolusi manusia berasal dari daerah tropika. Hal
ini berkaitan dengan berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba yang hanya
dapat ditoleransi di daerah tropika yang hangat. Kedua, Dubois mencatat
bahwa dalam dunia binatang, pada umumnya mereka tinggal di daerah geografi yang
sama dengan asal nenek moyangnya. Dari segi biologi, binatang yang paling mirip
dengan manusia ialah kera besar. Sehingga nenek moyang kera besar diduga
mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) yang dekat dengan manusia.
Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man (1871) mengatakan,
manusia lebih dekat dengan kera besar di Afrika seperti gorila dan simpanse.
Dalam hal ini Dubois berbeda dengan Darwin, ia percaya bahwa Asia Tenggara
merupakan asal-usul manusia karena di sana ada orangutan dan siamang. Menurut
Dubois, juga didukung oleh beberapa ahli seperti Wallace dan Lyell, orangutan
dan siamang lebih dekat hubungannya dengan manusia dibanding gorilla dan
simpanse. Alasan ketiga, Dubois mengikuti perkembangan penemuan fosil
rahang atas dari sejenis kera seperti manusia yang ditemukan di Bukit Siwalik,
India pada tahun 1878. Kalau di India ditemukan fosil semacam itu, maka terbuka
kemungkinan penemuan fosil selanjutnya di Jawa.
Berlandaskan ketiga dasar
teori tersebut dan setelah mendapat dukungan dari pemerintah Hindia Belanda,
maka Dubois memulai usaha pencariannya. Keberhasilan kedua adalah ditemukannya
fosil “java man” atau Pithecanthropus Erectus, sekarang lebih
dikenal dengan nama Homo Erectus di Trinil (Jawa Timur). Saat ini Homo
Erectus dipercaya merupakan salah satu kerabat dekat manusia modern (Homo
Sapiens). Berdasarkan analisis para ahli dari Berkeley dengan menggunakan
metode mutakhir argon-40/argon-39 (laser-incremental heating analysis),
diduga umur fosil tersebut sekitar 1 juta tahun. Hasil pengukuran yang
melibatkan tim peneliti dari Indonesia itu, pernah dipublikasi dalam majalah
ilmiah bergengsi Science vol. 263 (1994).
Walau begitu, ada juga kegagalan Dubois
yang dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan menjadi bermakna.
Salah satu kelemahan teori Dubois adalah di missing link, yang
menyebutkan mata rantai keramanusia telah terjawab dengan ditemukannya “java
man”. Pendapat itu keliru karena penemuan-penemuan selanjutnya fosil manusia
purba di Sangiran (Jawa Tengah), Mojokerto (Jawa Timur), juga di Cina dan
Tanzania ternyata jauh lebih tua sekitar 500.000 sampai 750.000 tahun dibanding
temuannya.
Selain itu, ada
kesalahan teori Dubois mengenai volume otak yang meningkat 2 kali lipat
sebanding dengan peningkatan ukuran tubuh. Menurut Dubois volume otak fosil
“java man” sekitar 700 cc, kurang lebih setengah dari volume otak manusia
modern yang sekitar 1.350 cc. Teori tersebut runtuh karena volume otak “java
man” berdasarkan penghitungan yang lebih akurat adalah sekitar 900 cc. Sebagai
pembanding pada kera besar yang ada sekarang, simpanse misalnya, volume otaknya
sekitar 400 cc. “Java man” terlalu pandai untuk mengisi missing link kera-manusia,
ia lebih tepat disebut manusia purba. Penemuan fosil manusia purba yang telah
dilakukan oleh Dubois pada akhirnya mendorong penemuan-penemuan selanjutnya
yang dilakukan oleh para peneliti lainnya. Pada tahun 1907-1908, dilakukan
upaya penyelidikan dan penggalian yang dipimpin oleh Selenka di daerah
Trinil (Jawa Timur). Penggalian yang dilakukan oleh Selenka memang tidak
berhasil menemukan fosil manusia. Akan tetapi upaya penggaliannya telah
berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat memberikan
dukungan untuk menggambarkan lingkungan hidup manusia Pithecanthropus. G.H.R
von Koenigswald mengadakan penelitian dari tahun 1936 sampai 1941 di daerah
sepanjang Lembah Sungai Solo. Pada tahun 1936 Koenigswald menemukan fosil
tengkorak anak-anak di dekat Mojokerto. Dari gigi tengkorak tersebut,
diperkirakan usia anak tersebut belum melebihi 5 tahun. Kemungkinan tengkorak
tersebut merupakan tengkorak anak dari Pithecanthropus Erectus, tetapi von
Koenigswald menyebutnya Homo Mojokertensis. Pada tahun-tahun
selanjutnya, von Koenigswald banyak menemukan bekas-bekas manusia prasejarah,
di antaranya bekas-bekas Pithecanthropus lainnya. Di samping itu, banyak
pula didapatkan fosil-fosil binatang menyusui. Berdasarkan atas fauna (dunia
hewan), von Koeningswald membagi diluvium Lembah Sungai Solo (pada umumnya
diluvium Indonesia) menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan Jetis (pleistosen
bawah), di atasnya terletak lapisan Trinil (pleistosen tengah) dan
paling atas ialah lapisan Ngandong (pleistosen atas).
Pada setiap lapisan
itu ditemukan jenis manusia purba. Pithecanthropus Erectus penemuan E.
Dubois terdapat pada lapisan Trinil, jadi dalam lapisan pleistosen
tengah. Pithecanthropus lainnya ada yang di pleistosen tengah dan
ada yang di pleistosen bawah. Di plestosen bawah terdapat fosil manusia purba
yang lebih besar dan kuat tubuhnya daripada Pithecanthropus Erectus, dan
dinamakan Pithecanthropus Robustus. Dalam lapisan pleistosen bawah terdapat
pula Homo Mojokertensis, kemudian disebut pula Pithecanthropus
Mojokertensis.
Jenis Pithecanthropus
memiliki tengkorak yang tonjolan keningnya tebal. Hidungnya lebar
dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol. Mereka hidup antara 2
setengah sampai 1 setengah juta tahun yang lalu. Hidupnya dengan memakan
tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pithecanthropus masih hidup berburu dan
mengumpulkan makanan. Mereka belum pandai memasak, sehingga makanan
dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu. Sebagian mereka masih tinggal di
padang terbuka, dan ada yang tewas dimakan binatang buas. Oleh
karenanya, mereka selalu hidup secara berkelompok. Pada tahun 1941, von
Koeningwald di dekat Sangiran Lembah Sungai Solo juga, menemukan
sebagian tulang rahang bawah yang jauh lebih besar dan kuat dari rahang Pithecanthropus.
Geraham-gerahamnya menunjukkan corak-corak kemanusiaan, tetapi banyak
pula sifat keranya. Tidak ada dagunya. Von Koeningwald menganggap
makhluk ini lebih tua daripada Pithecanthropus. Makhluk ini ia beri nama
Meganthropus Paleojavanicus (mega = besar), karena bentuk tubuhnya yang
lebih besar. Diperkirakan hidup pada 2 juta sampai satu juta tahun yang
lalu. Von Koenigswald dan Wedenreich kembali menemukan sebelas fosil tengkorak
pada tahun 1931-1934 di dekat Desa Ngandong Lembah Bengawan Solo.
Sebagian dari jumlah itu telah hancur, tetapi ada beberapa yang dapat
memberikan informasi bagi penelitiannya. Pada semua tengkorak itu, tidak
ada lagi tulang rahang dan giginya. Von Koeningswald menilai hasil temuannya
ini merupakan fosil dari makhluk yang lebih tinggi tingkatannya daripada
Pithecanthropus Erectus, bahkan sudah dapat dikatakan sebagai manusia.
Makhluk ini oleh von Koeningswald disebut Homo Soloensis (manusia dari
Solo).
Pada tahun 1899
ditemukan sebuah tengkorak di dekat Wajak sebuah desa yang tak jauh dari
Tulungagung, Kediri. Tengkorak ini ini disebut Homo Wajakensis. Jenis
manusia purba ini tinggi tubuhnya antara 130 – 210 cm, dengan berat badan
kira-kira 30 – 150 kg. Mukanya lebar dengan hidung yang masih lebar, mulutnya
masih menonjol. Dahinya masih menonjol, walaupun tidak seperti Pithecanthropus.
Manusia ini hidup antara 25.000 sampai dengan 40.000 tahun yang lalu. Di
Asia Tenggara juga terdapat jenis ini. Tempat-tempat temuan yang lain ialah di
Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), juga di Cina Selatan. Homo ini
dibandingkan jenis sebelumnya sudah mengalami kemajuan. Mereka telah membuat
alat-alat dari batu maupun tulang. Untuk berburu mereka tidak hanya mengejar
dan menangkap binatang buruannya. Makanannya telah dimasak, binatang-binatang
buruannya setelah dikuliti lalu dibakar. Umbian-umbian merupakan jenis makanan
dengan cara dimasak. Walaupun masakannya masih sangat sederhana, tetapi ini
menunjukkan adanya kemajuan dalam cara berpikir mereka dibandingkan dengan
jenis manusia purba sebelumnya. Bentuk tengkorak ini berlainan dengan tengkorak
penduduk asli bangsa Indonesia, tetapi banyak persamaan dengan tengkorak
penduduk asli benua Australia sekarang. Menurut Dubois, Homo Wajakensis
termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis
dan nantinya menurunkan bangsa-bangsa asli di Australia. Menurut von
Koenigswald, Homo Wajakensis seperti juga Homo Solensis berasal
dari lapisan bumi pleistosin atas dan mungkin sekali sudah termasuk jenis Homo
Sapiens, yaitu manusia purba yang sudah sempurna mirip dengan manusia.
Mereka telah mengenal penguburan pada saat meninggal. Berbeda dengan jenis
manusia purba sebelumnya, yang belum mengenal cara penguburan.
Selain di Indonesia,
manusia jenis Pithecanthropus juga ditemukan di belahan dunia lainnya.
Di Asia, Pithecanthropus ditemukan di daerah Cina, di Cina Selatan
ditemukan Pithecanthropus Lautianensis dan di Cina Utara ditemukan Pithecanthropus
Pekinensis. Diperkirakan mereka hidup berturut-turut sekitar 800.000 –
500.000 tahun yang lalu. Di Benua Afrika, fosil jenis manusia Pithecanthropus
ditemukan di daerah Tanzania, Kenya dan Aljazair. Sedangkan di Eropa fosil
manusia Pithecanthropus ditemukan di Jerman, Perancis, Yunani, dan
Hongaria. Akan tetapi, penemuan fosil manusia Pithecanthropus yang
terbanyak yaitu di daerah Indonesia dan Cina.
Di Australia Utara
ditemukan fosil yang serupa dengan manusia jenis Homo Wajakensis yang
terdapat di Indonesia. Sebuah tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah
rahang bawah, dan sebuah rahang atas dari manusia purba yang ditemukan di
Australia itu sangat mirip dengan manusia Wajak. Apabila menilik
peta Indonesia yang terbentuk pada masa glasial, memperlihatkan bahwa pulau
Jawa bersatu dengan daratan Asia dan bukan dengan Australia. Oleh karena itu,
diperkirakan manusia Wajak ini bermigrasi ke Australia dengan menggunakan
jembatan penghubung. Diduga mereka telah memiliki keterampilan untuk membuat
perahu serta mengarungi sungai dan lautan, sehingga akhirnya sampai di daratan
Australia.
Setelah masa
penjajahan Belanda selesai, penelitian manusia purba dilanjutkan oleh orang
Indonesia sendiri. Pada tahun 1952 penelitian dimulai. Penelitian ini terutama
dilakukan oleh dokter dan geolog yang kebetulan harus meneliti lapisan-lapisan
tanah. Seorang dokter dari UGM yang mengkhususkan dirinya pada penyelidikan
tersebut adalah Prof. Dr. Teuku Jacob. Dia memulai penyelidikannya di
daerah Sangiran. Penelitian ini kemudian meluas ke Bengawan Solo.
2.3
Persebaran Manusi Di Kepulauan
Indonesia
Berbagai
jenis ras diperkiraan berasal dari asia tengah hal tersebut didasarkan atas
penemuan tulang belulang kuno. Contohnya Papua Melanosoid, Europoid, Mongoloid,
dan Austroloid. Dari percampuran mereka lahirlah bangsa melayu yang menyebar
melalui sungai dan lembah kedaerah pantai dikarenakan adanya wabah
penyakit , ke teluk Tonkin lalu indo cina menyebar ke Kamboja, Muang Thai yang
kemudian menjadi bangsa Austroasia. Yang kemudian mereka munuju kepulaan dan
kemudian menjadi bangsa Austronesia.
Bangsa Thailand Selatan, Singapura, Indonesia, Brunei, dan Philipina Selatan
memiliki kesamaan terhadap bangsa cina di sebelah timur dan bangsa India di
sebelah barat.
a. Penyebaran Manusia dan Bahasa
Austronesia
Bahasa di asia tengah berasal dari keluarga sinn-tibet yang melahirkan bahasa
Cina, Siam, Tibet, Miao, Yiu, dan Burma. Penyebaran keselatan melahirkan bahasa
Dravida,yaitu Telugu, Tamil, Malayalam, sedangkan penyebaran ke Asia Timur dan
Tenggara melahirkan bahasa Austronesia yang menurunkan bahasa Melayu,
Melanesia, Mikronesia, Polinesia.
Oleh
karena itu ada kesamaan istilah ,bahasa,nama hewan dan tumbuhan,jadi bangsa
pendukung bahasa Austronesia itu berasal dari daerah campa. Cochin china,dan
kamboja dan daerah di sekitar pantai, namun wilayah itu bukanlah penduduk
asli.tempat asal mereka berada di daerah yang jauh lebih tinggi.
b. Penyebar Pendukung Kapak Persegi
Menurut Kern dan Von Heine Geldern persebaran kapak persegi berasal
dari daerah Yunan di Cina Selatan , yaitu di daerah hulu sungai sungai terbesar
di Asia Tenggara seperti di sungai Brahmaputra, Irrawaddy, Salwin,
Yang-tse-kiang, sungai Mekhong, dan sungai Menam. Dengan melalui lembah sungai
itu kebudayaan dan manusia pendukungnya menyebar menuju hilir sungai sehingga
sampai ke asia tenggara bagian utara. Disini kebudayaan itu mempunyai cabang
kebudayaan kapak bahu. Dalam perkembangnya masing-masing berdiri sendiri
dan mempunyai jalan penyebaran yang berbeda. Pendukung kebudayaa kapak persegi
yaitu adalah bangsa Austronesia,mempunyai pusat di daerah Tonkin. Karena
mereka memiliki kepandaian membuat perahu bercadik, mereka berlayar menggunakan
perahu tersebut ke Malaysia barat kemudian ke Sumatra, Jawa, Bali, dan terus ke
timur. Sebagian menuju Kalimantan, dari Kalimantan barat laut kebudayaan kapak
persegi tersebar ke Philipina , Formosa, dan Jepang.
c.
Penyebaran
Manusia dengan Perahu Bercadik
Hornell yang
mengadakan penyelidikan terhadap jenis-jenis perahu di Nusantara dan
negar-negara disekitarnya menyimpulkan bahwa perahu bercadik adalah perahu khas
bangsa Indonesia. Di India selatan ada beberapa suku yang menurut corak
kebudayaan dan fisiknya banyak menyerupai orang Indonesia. Diantaranya suku
terkenal sebagai penyelam mutiara di teluk Manar. Mereka juga menggunakan
perahu bercadik, sedangkan suku Shanar kehidupannya terutama dari perkebunan
kelapa. Tanaman kelapa tersebut diperkirakan berasal dari Indonesia melalui
Srilangka.
d. Gelombang Kedatangan Penduduk dari Asia
Daratan ke Wilayah Nusantara
Berdasarkan
fosil-fosil yang telah di temukan di wilayah Indonesia dapat diketahui bahwa
sejak 2 juta tahun yang lalu wilayah ini telah di huni. Penhuninya adalah
manusia-manusia purba dengan kebudayaan seperti : meganthropus paleojavanicus,
pithecanthropus erectus, pithecanthropus soloensis dan homo wajakensis.
Manusia-manusia purba ini utamanya homo wajakensis lebih mirip dengan
manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia, aborigin.
Dengan demikian,”penduduk asli Indonesia” adalah kaum negroid atau melanesoid atau astroloid, yang berkulit hitam. Wilayah nusantara kemudian kedatangan bangsa melanesoid yang berasal dari Tonkin, tepatnya dari bacson-hoabinh. Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini berkulit hitam, berbadan kecil dan termasuk tipe veddoid-austrolaid. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah dinusantara belum menjadi kepemilikan siapa pun. Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya mencari lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba diwilayah nusantara di lembah-lembah sungai), walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika bangsa Melanesoid datang, mereka mulai menetap, walaupun seminomaden. Jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan mereka akan pindah. Oleh karena itu, mereka memilih daerah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan menjadi targetnya. Alat-alat sederhana seperti: kapak genggam atau choppers, alat-alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble, kapak pendek dan sebagainya.
Kebudayaan
bangsa Melanesoide ini adalah kebudayaan Mesolitikum yang sudah mulai hidup
menetap dalam kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.
Teknologi pertanian juga sudah mereka miliki sekalipun mereka belum dapat
menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami berkali-kali. Cara bertani mereka
masih dengan sistem perladangan berpindah-pindah. Dengan demikian, mereka harus
berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya
makanan ternak. Gaya hidup ini dinamakan dengan seminomaden. Dalam setiap
perpindahan manusia beserta kebudayaan yang datang ke nusantara, selalu di
lakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya lebih tinggi dari bangsa yang
dating sebelumnya. Dari semua gelombang pendatang dapat di lihat bahwa mereka adalah
bangsa-bangsa yang mulai bahkan telah menetap. Jika kehidupan mereka masih
berpindah, maka perpindahan bukanlah sesuatu hal yang aneh. Namun dalam
kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk meninggalkan daerah asal bukan
tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap, maka tanah yang mereka
butuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka sangat
membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Sekitar
tahun 2000SM, bangsa melanesoid yang akhirnya menetap di nusantara kedatangan
pula bangsa dan kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun melayu
austronosia yakni bangsa melayu tua atau proto melayu, suatu ras mongoloid yang
berasal dari daerah yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan.
Orang-orang
melayu tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan bahkan
mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan makanan
sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara
lebih permanen. Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan
berbagai jenis dasar-dasar kebudayaan.Mereka juga mulai membangun satu sistem
politik dan pengorganisasian untuk mengatur pemukimannya. Pengorganisasian ini
membuatnya sanggup belajar membuat peralatan rumah tangga dari tanah dan
berbagai perlatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya sistem
kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan
pertanian mereka. Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak
yang kalah dalam perebutan tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di
wilayah lain. Demikian juga, yang menimpa bangsa melayu tua yang sudah mengenal
bercocok tanam, berternak, dan menetap. Kembali lagi, daerah subur dengan
aliran sungai atau mata air yang menjadi incaran. Namun kedatangan bangsa
melayu tua juga memungkinkan terjadinya percampuran darah antara bangsa ini
dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di nusantara.
Pada
tahun 200-300SM, datanglah orang-orang melayu tua yang telah bercampur dengan
bangsa aria di daratan yunan. Mereka disebut orang melayu muda atau deutero
melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih tinggi lagi
dari kebudayaan batu muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai
alat perkakas hidup dan alat produksi.
Kedatangan
bangsa melayu muda mengakibatkan bangsa melayu tua yang tadinya hidup disekitar
aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman karena kebudayaannya tidak
banyak berubah. Dengan menguasai tanah, bangsa melayu muda dapat berkembang
dengan pesat kebudayaannya bahkan menjadi penyumbang terbesar untuk cikal bakal
bangsa indonesia sekarang.Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang
lebih tua menyerap bahasa dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan
pengusiran bahkan tidak ada penggantian penduduk secara besar-besaran.
Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal nusantara yang telah
menjadi titik pertemuan dari ras kuning ( mongoloid ) yang bermigrasi ke
selatan dari yunan, ras hitam yang di miliki oleh bangsa melanesoid.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Asal usul manusia
berkaitan dengan teori evolusi. Tokoh yang mengeluarkan teori evolusi ialah Charles
Darwin. Berdasarkan teorinya, Darwin mencoba memberikan jawaban tentang
asal-usul manusia dan bagaimana manusia itu mengalami perkembangan secara
fisik. Penemuan manusia purba di Indonesia dapat menjelaskan tentang asal usul
dan penyebaran manusia di Indonesia. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut
maka timbul berbagai teori mengenai asal usul dan persebaran manusia di
Indonesia.
3.2
Saran
Demikianlah makalah ini saya susun
dengan baik. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis menyadari makalah
ini masih banyak kekurangan, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini .
DAFRAT
PUSTAKA
Mustafa
Shodiq . 2006. Wawasan Sejarah 1 Indonesia dan Dunia. Solo : _______Tiga Serangkai
Mustopo
Habib. 2007. Sejarah 1. Jakarta : Yudhistira
No comments:
Post a Comment