BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan
negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok,
dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara
lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan
juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien. Pada abad ke-4 di
Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, yaitu kerajaan Tarumanagara
yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya
dan Majapahit.
Pada masa abad ke-7
hingga abad ke-14,
kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing
mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak
kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah
dan Kamboja.
Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur,
Majapahit.
Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas
wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh
Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan
pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita
Ramayana.
Berangkat dari sejarah bangsa Indonesia yang didahului oleh
masa keajaan. Kerajaan Hindu merupakan pelopor berdirinya Negara hindu di
Indonesia. Banyak kerajaan-kerajaan hindu di Indonesia. Sejak masuknya budaya
hindu ini Zaman Prasejarah mulai berganti menjadi Zaman Sejarah. Kerajaan hindu
di Indonesia mempunyai sejarahnya masing-masing, seperti Kerajaan Kutai dan
Tarumanegara.
1.2.
Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah dari kerjaan Tulang Bawang ?
2. Dan bagaimanakah sejarah dari Kerajaan Kota Kapur ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Sejarah Kerajaan Tulang Bawang
Kerajaan Tulangbawang
adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri di Lampung.
Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang, Lampung
sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan keterangan mengenai
kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah mengunjungi Nusantara
pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang peziarah Buddha, dalam
catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang P'o-Hwang
("Tulangbawang"), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau
Sumatera). Namun Tulangbawang lebih merupakan satu Kesatuan Adat.
Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada Abad ke VII M. Sampai saat
ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli
sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu
Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam
radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P'o Chie (Sriwijaya),
nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada catatan sejarah mengenai
kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun yang diketahui oleh
penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang menganut adat Pepadun, yang
memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa dalam komunitas ini, maka Pemimpin
Adat yang berkuasa selalu berganti ganti Trah. Hingga saat ini belum
diketemukan benda benda arkeologis yang mengisahkan tentang alur dari kerajaan
ini.
Kerajaan Tulang
Bawang merupakan salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Tidak banyak
catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang kerajaan ini. Sebab, ketika Che-Li-P‘o
Chie (Kerajaan Sriwijaya) berkembang, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang
Bawang justru pudar. Menurut catatan Tiongkok kuno, sekitar pertengahan abad
ke-4 pernah ada seorang Bhiksu dan peziarah bernama Fa-Hien (337-422), ketika
melakukan pelayaran ke India dan Srilangka, terdampar dan pernah singgah di
sebuah kerajaan bernama To-Lang P‘o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di
pedalaman Chrqse (Sumatera).
Sumber lain
menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok bernama I-Tsing yang pernah
singgah di Swarna Dwipa (Sumatera). Tempat yang disinggahinya ternyata
merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu, ia sempat melihat daerah
bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama daerah itu dengan istilah Tola
P‘ohwang. Sebutan Tola P‘ohwang diambil dari ejaan Sela-pun.
Untuk mengejanya, kata ini di lidah sang pujangga menjadi berbunyi so-la-po-un.
Orang China umumnya berasal dari daerah Ke‘. I-Tsing, yang merupakan
pendatang dari China Tartar dan lidahnya tidak bisa menyebutkan So, maka
ejaan yang familiar baginya adalah To. Sehingga, kata solapun
atau selapon disebutkan dengan sebutan Tola P‘ohwang. Lama
kelamaan, sebutan itu menjadi Tolang Powang atau kemudian menjadi Tulang
Bawang.
Kerajaan
Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan Melayu dan Kerajaan
Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan Sriwijaya, pengaruh ajaran agama
Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang tidak dapat menerima ajaran tersebut,
sehingga mereka kemudian menyingkir ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang
Melayu yang menetap di Megalo dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya
sendiri yang masih eksis. Pada abad ke-7, nama Tola P‘ohwang diberi nama
lain, yaitu Selampung, yang kemudian dikenal dengan nama Lampung.
Hingga kini,
belum ada orang atau pihak yang dapat memastikan di mana pusat Kerajaan Tulang
Bawang berada. Seorang ahli sejarah, Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat
kerajaan ini terletak di Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagar
Dewa, yang jaraknya sekitar radius 20 km dari pusat Kota Menggala. Jika ditilik
secara geografis masa kini, kerajaan ini terletak di Kabupaten Tulang Bawang,
Provinsi Lampung
Sekitar abad
ke-15, Kota Manggala dan alur Sungai Tulang Bawang dikenal sebagai pusat
perdagangan yang berkembang pesat, terutama dengan komoditi pertanian lada
hitam. Konon, harga lada hitam yang ditawarkan kepada serikat dagang kolonial
Belanda atau VOC (Oost–indische Compagnie) lebih murah dibandingkan
dengan harga yang ditawarkan kepada pedagang-pedagang Banten. Oleh karenanya,
komoditi ini amat terkenal di Eropa. Seiring dengan perkembangan zaman, Sungai
Tulang Bawang menjadi dermaga “Boom” atau tempat bersandarnya
kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru Nusantara. Namun, cerita tentang
kemajuan komoditi yang satu ini hanya tinggal rekaman sejarah saja.
Kerajaan Tulang
Bawang tidak terwariskan menjadi sistem pemerintahan yang masih berkembang
hingga kini. Nama kerajaan ini kemudian menjadi nama Kabupaten Tulang Bawang,
namun sistem dan struktur pemerintahannya disesuaikan dengan perkembangan
politik modern.
Periode
Pemerintahan
Oleh karena
tidak banyaknya catatan sejarah yang mengungkap fakta lebih dalam lagi seputar
Kerajaan Tulang Bawang, maka data tentang periode pemerintahannya pun masih
dalam proses pengumpulan.
Wilayah
Kekuasaan
Kekuasaan
Kerajaan Tulang Bawang mencakup wilayah yang kini lebih dikenal dengan Provinsi
Lampung.
Struktur
Pemerintahan
Struktur
pemerintahan Kerajaan Tulang Bawang belum didapat datanya. Berikut ini akan
dibahas tentang bagaimana sistem pemerintahan daerah Tulang Bawang pada masa
pra-kemerdekaan, yaitu ketika daerah ini menjadi bagian dari pemerintahan
Hindia Belanda. Pada tanggal 22 November 1808, pemerintahan Kesiden Lampung
ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda berada di bawah pengawasan langsung
Gubernur Jenderal Herman Wiliam. Hal ini berakibat pada penataan ulang
pemerintahan adat yang kemudian dijadikan alat untuk menarik simpati
masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal
Herman Wiliam kemudian membentuk Pemerintahan Marga yang dipimpin oleh Kepala
Marga (Kebuayan). Wilayah Tulang Bawang dibagi ke dalam tiga kebuayan, yaitu
Buay Bulan, Buay Tegamoan, dan Buay Umpu. Pada tahun 1914, dibentuk kebuayan
baru, yaitu Buay Aji.
Namun, sistem
ini tidak berjalan lama karena pada tahun 1864 mulai dibentuk sistem
Pemerintahan Pesirah berdasarkan Keputusan Kesiden Lampung No. 362/12 tanggal
31 Mei 1864. Sejak saat itu, pembangunan berbagai fasilitas yang menguntungkan
kepentingan Hindia Belanda mulai dibangun, termasuk di Tulang Bawang. Ketika
Kesiden Lampung dijajah oleh Jepang, tidak banyak hal yang berubah. Setelah
Indonesia merdeka, Lampung ditetapkan sebagai keresidenan dalam wilayah
Provinsi Sumatera Selatan. Setelah Indonesia merdeka, banyak terjadi perubahan
sistem pemerintahan Lampung. Bahkan, sejak pemekaran wilayah provinsi marak
terjadi di era otonomi daerah, Lampung ditetapkan sebagai wilayah provinsi yang
terpisah dari Provinsi Sumatera Selatan. Sejak saat itu, status Menggala
ditetapkan sebagai Kecamatan Menggala di bawah naungan Provinsi Lampung Utara.
Sejarah
Kabupaten Tulang Bawang tidak berdiri begitu saja, melainkan melalui proses
pertemuan penting antara sesepuh dan tokoh masyarakat bersama dengan pemerintah
yang diadakan sejak tahun 1972. Pertemuan tersebut merencanakan pembentukan
Provinsi Lampung menjadi sepuluh kabupaten/kota. Pada tahun 1981, Pemerintah
Provinsi Lampung kemudian membentuk delapan Lembaga Pembantu Bupati, yang salah
satunya adalah Bupati Lampung Utara Wilayah Menggala. Berdasarkan Keputusan
Menteri Dalam Negeri No.821.26/502 tanggal 8 Juni 1981, dibentuk wilayah kerja
Pembantu Bupati Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Utara Wilayah
Provinsi Lampung.
Melalui proses
yang begitu panjang, akhirnya keberadaan Kabupaten Tulang Bawang diputuskan
melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 Maret 1997. Sebagai
tindak lanjutnya, keputusan tersebut dikembangkan dalam UU No. 2 Tahun 1997
tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Tulang Bawang dan Kabupaten Tingkat II
Tagamus.
Kehidupan
Sosial-Budaya
Ketika
ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat Tulang Bawang masih
tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai membuat kerajinan tangan dari
logam besi dan membuat gula aren. Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan
masyarakat Tulang Bawang juga masih ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus
bergeliat. Pada abad ke-15, daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu
pusat perdagangan di Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan
produk pertanian yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang kehidupan
sosial-budaya masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses
2.2.
Sejarah Kerajaan Kota Kapur
Kali
ini saya akan berbagi mengenai sejarah singkat Kerajaan Kota Kapur. Jika
dilihat dai hasil temuan dan penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota
Kapur, Pulau Bangka, yaitu pada tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk
mengenai kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan
sejak masa sebelum kemunculan Kerajaan Sriwijaya.
Pusat kekuasaan tersebut
meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa sisa-sisa dari sebuah bangunan
candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di
antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan arca-arca Wisnu
yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa
Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur
selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka
tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan - peninggalan
lain yaitu di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya
kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti
halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs
Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh
berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing
panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3
meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M
sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar
pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi
ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh
Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur
yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan
dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya
ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan
dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya
Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang
ada di Pulau Bangka.
A.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur
adalah prasasti
berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka,
di sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur". Tulisan pada prasasti
ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, serta merupakan salah satu dokumen
tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini dilaporkan
penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada
bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.
Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern,
seorang ahli epigrafi
bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia.
Pada mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes-lah
yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah kerajaan
di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah
menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand
bagian selatan. Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum
(Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia.
B.
Tradisi Asia
Tenggara di Kota Kapur
Temuan papan perahu kuno di situs Kota Kapur segera
dapat diidentifikasi lewat teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di
bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat
yang menembus lubang di sisi papan merupakan teknik rancang bangun perahu
dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug
technique).
Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk
mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan
tali ijuk (Arenga pinnata). Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Pada
salah lubang di bagian tepi papan perahu yang ditemukan di Sungai Kupang
terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya,
penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di
wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik
ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di situs Kuala Pontian di
Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.
Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera tahun
1980-1990 juga menemukan banyak sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara seperti
yang ditemukan di lokasi situs prasasti kota kapur ini. Di wilayah Sumatera
Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten
Banyuasin), di situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di situs Tulung Selapan
(Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di
situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur).
Selain papan-papan perahu, ditemukan pula kemudi
perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara,
yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi
Banyuasin).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Papan-papan perahu dari situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Sisa-sisa perahu kuno situs Kota Kapur boleh jadi
berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di situs Samirejo dan
situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di situs Kota Kapur
menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh komunitas yang telah mapan
sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah
satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno
itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15 Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini
terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih
tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian di situs prasasti kota kapur ini
terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai
Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan
tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.
C. Spirit
Bahari Di Kota Kapur
Seusai mendokumentasikan pengangkatan papan-papan
perahu dan mendeskripsikan artefak itu satu per satu, bangkai perahu Sriwijaya
itu kemudian ditenggelamkan kembali ke dalam kolong di sekitar lokasi situs
prasasti kota kapur ini. Lho?
"Konservasi kayu perahu kuno yang paling murah,
ya, dipendam lagi dalam rawa," ujar seorang arkeolog sambil mengawasi
tenaga lokal yang menurunkan papan-papan perahu ke air. Artefak kayu itu
apabila kena sinar matahari langsung biasanya lebih cepat lapuk, sementara
dalam rawa dapat lestari sampai berabad-abad.
Pemerintah Kabupaten Bangka sebenarnya telah
memiliki rencana mengumpulkan kembali berbagai jenis artefak situs Kota Kapur
yang berada di luar situs, namun belum ada tempat yang memadai untuk memelihara
papan-papan itu. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten telah memprakarsai dan
mewujudkan kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan situs Kota Kapur kali
ini. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat digali jati diri Bangka sekaligus
mengembangkan situs arkeologi itu sebagai kawasan wisata.
Penemuan bangkai perahu kuno di situs Kota Kapur
merupakan data baru sekaligus bagian dari penemuan jati diri itu sendiri.
Tentang spirit bahari dari kota Kapur ini.
"Ya, temuan itu relevan dengan kata kepulauan
yang digunakan untuk nama provinsi ini," ujar Yan Megawanti, Kepala
Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ( Sekarang Kepala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Babel ), memaknai pesan masa lalu di balik bangkai
perahu kuno dengan kehidupan masa sekarang.
Pesan tentang kejayaan bahari masa lalu dari Kota
Kapur segera harus ditindaklanjuti. Tahun 2008 yang lalu merupakan 100 tahun
Kebangkitan Nasional. Belajar dari masa lalu, bangsa ini dapat segera bangkit,
maju, dan berjaya melalui dunia bahari. Jangan biarkan spirit bahari itu
terpendam lagi dalam rawa. Kebangkitan bahari boleh saja dimulai dari Kota
Kapur untuk semua kepulauan di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setelah kita mengikuti Risalah kecil
ini tentang Riwayat Sejarah Kerajaan Tulang Bawang dan Kerajaan Kota Kapur,
maka kita dapat mengambil suatu Kesimpulan sebagai berikut :
- Tempat Keraton Kerajaan Tulang Bawang diperkirakan disekitar Pendukuhan.
- Raja Tulang Bawang yang pertama diperkirakan MAULANO AJI/ MAULANA HAJI Tahun 623 M.
- Raja Tulang Bawang yang terakhir adalah MINAK PATI PEJURIT gelar MINAK KEMALA BUMI.
- Adat Imigrasi / Transmigrasi sudah ada sejak zamannya Kerajaan Tulang Bawang.
- Demokrasi dan Hak Azazi Manusia sudah ada sejak Zamannya Minak Kemala Bumi.
- Penyebaran Agama Islam di Lampung adalah MINAK KEMALA BUMI.
- Hubungan antara Lampung dengan Banten, Lampung dengan Palembang, Pagar Dewa Tulang Bawang dengan Kedamaian Balau sudah ada sejak zamannya MINAK KEMALA BUMI.
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti
Śrīwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit yang
baru ditemukan pada 29 November 1920, dan Prasasti Talang Tuo yang ditemukan
beberapa hari sebelumnya yaitu pada 17 November 1920.
Prasasti Kota Kapur ini, beserta
penemuan-penemuan arkeologi lainnya di daerah tersebut, merupakan peninggalan
masa Sriwijaya dan membuka wawasan baru tentang masa-masa Hindu-Budha di masa
itu. Prasasti ini juga membuka gambaran tentang corak masyarakat yang hidup
pada abad ke-6 dan abad ke-7 dengan latar belakang agama Hindu.
DAFTAR PUSTAKA
http://tulangbawang.mestaboh.com/2014/04/kesimpulan-penutup.html
Makasih ya kak,sangat membantu :)
ReplyDelete