propeler

makalah putusan hakim

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam mempelajari ilmu hukum, sumber hukum merupakan suatu bagian yang sangat penting artinya, baik dilihat dari segi teori maupun dilihat dari praktek. Sumber hukum dapat dibedakan menjadi (Soemardi, 1986: 1-2):
1. Sumber hukum dalam arti material;
2. Sumber hukum dalam arti formal.

Sumber hukum material adalah faktor-faktor yang turut serta menentukan isi hukum. Faktor-faktor ini antara lain dapat berupa nilai-nilai ideal yang hidup di dalam masyarakat, struktur ekonomi, kebiasaan dalam masyarakat, hukum yang berlaku, kenyakinan tentang agama dan kesusilaan, dan kesadaran hukum (Soemardi, 1986: 6-12).

Sumber hukum formal adalah kenyataan-kenyataan yang menimbulkan hukum yang berlaku dan mengikat setiap orang. Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan sebagai sumber hukum dalam arti formal berdasarkan kepada segi bentuknya semata-mata, tanpa mempersoalkan faktor asal mula timbulnya isi peraturan hukum. Jadi, yang menjadi titik beratnya adalah pada penampilan lahiriyah dari hukum positif tersebut (Soemardi, 1986: 12). Sumber hukum formal terdiri dari undang-undang, kebiasaan, traktat, dan yurisprudensi (Soemardi, 1986: 12). Kemudian, sumber hukum dalam arti formal membantu dalam mencarikan jawaban atas pertanyaan, “Di manakah kita mendapatkan ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam satu persoalan yang kongkret?” (Kusumaatmadja dan Agoes, 2003: 113).



Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa sebagai salah satu sumber hukum formal, maka yurisprudensi mempunyai arti penting sebagai acuan “Di manakah kita mendapatkan ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam satu persoalan yang kongkret?”. Yurisprudensi dapat digunakan sebagai dasar putusan bagi hakim lain di kemudian hari untuk mengadili perkara yang memiliki unsur-unsur yang serupa.


























BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Putusan Hakim


Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek, yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan (Mertokusumo, 2002: 8).
Lebih jelas lagi, Prof. Subekti berpendapat bahwa yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah:
“Putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi” (Kamil dan Fauzan, 2004: 10).

Jadi tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikatakan sebagai yurisprudensi. Hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 1995 menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi, apabila putusan hakim tersebut memenuhi unsur-unsur sebagai berikut (Kamil dan Fauzan, 2004: 11):
1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya;
2. Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama;
4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan;
5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.

Kemudian, di kalangan praktisi sering pula dibedakan antara yurisprudensi tetap dengan yurisprudensi yang belum tetap. Memang belum ada kesepakatan yang baku tentang apa yang dimaksud dengan yurisprudensi tetap dan yurisprudensi belum tetap itu. Mengenai belum adanya kesepakatan baku tentang pengertian yurisprudensi tetap tersebut, menurut Prof. Sunaryati Hartono adalah disebabkan karena hakim di Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip bahwa setiap hakim bebas dan tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya, sebagaimana yang berlaku di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura (Hartono, 2002: 8).

Namun demikian, telah ada usaha juga dari beberapa hakim agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk merumuskan pengertian yurisprudensi tetap ini, yaitu sebagai (Kamil dan Fauzan, 2004: 11):
“Putusan-putusan hakim tingkat pertama, dan putusan hakim tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran, telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama, putusan tersebut telah diuji secara akademis oleh Majelis Yurisprudensi yang terdiri dari para Hakim Agung di Mahkamah Agung, dan telah direkomendasikan sebagai yurisprudensi tetap yang berlaku mengikat dan wajib diikuti oleh hakim-hakim di kemudian hari dalam memutus perkara yang sama.”

Berdasarkan rumusan tersebut di atas, yurisprudensi tetap memiliki tahapan-tahapan proses sebagai berikut (Kamil dan Fauzan, 2004: 11):
1. Adanya putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap;
2. Atas perkara atau kasus yang diputus yang belum ada aturan hukumnya atau hukumnya kurang jelas;
3. Memiliki muatan keadilan dan kebenaran;
4. Telah berulang kali diikuti oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama;
5. Telah melalui uji eksaminasi atau notasi oleh tim yurisprudensi yang terdiri dari para Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan;
6. Telah direkomendasikan sebagai putusan yang berkualifikasi sebagai yurisprudensi tetap.

Sayang sekali, pada saat ini belumlah dapat ditemukan kriteria bagi apa yang dapat dikatakan sebagai yurisprudensi tetap Indonesia, hal ini adalah disebabkan hakim di Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip bahwa setiap hakim bebas dan tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya, sebagaimana yang berlaku di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura (Hartono, 2002: 8).

2.2 Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap

Hakim-hakim di negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Saxon, seperti Amerika Serikat, Malaysia dan Singapura, menerapkan asas stare decisis, sehingga mereka dalam prakteknya saat memeriksa dan memutus perkara wajib mengikuti putusan hakim yang lebih tinggi atau yang lebih dulu ada (Hartono, 2002: 8-9 dan 1991: 102).

Dalam kenyataannya di Indonesia, sikap hakim dalam memutus suatu perkara dengan bebas dan tidak terikat pada putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya, sebenarnya malah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (Hartono, 2002: 8), apalagi apabila hakim yang bersangkutan kurang mampu dalam menyusun pertimbangan hukum (legal reasoning) yang baik. Melihat kenyataan yang demikian, maka sudah sebaiknya hakim di Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan Indonesia mengadopsi asas stare decisis.Alasan yang menyatakan bahwa asas stare decisis hanya berlaku untuk sistem hukum Anglo-Saxon, untuk saat ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Saat ini, baik Indonesia atau bahkan Belanda sekalipun, sudah mengadopsi hukum dari negara-negara bersistem hukum Anglo-Saxon (Hartono, 2002: 11-12), dan sebaliknya, negara-negara bersistem hukum Anglo-Saxon juga telah mengadopsi hukum dari sistem Eropa Kontinental. Gejala semacam ini disebut juga dengan konvergensi antarsistem hukum (Armia, 2003: 80).

Jika seorang hakim ingin menyimpang dari suatu yurisprudensi tetap, maka hakim tersebut wajib memberikan alasan dan pertimbangan hukum yang memadai, yang dapat menjelaskan adanya perbedaan fakta-fakta dalam perkara yang dihadapinya dibanding dengan fakta-fakta dalam perkara sebelumnya, sehingga ia memang cukup beralasan untuk tidak terikat dan mengikuti putusan hakim yang lebih tinggi atau putusan hakim sebelumnya (Hartono, 2002: 10).

Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding; putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi; dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.

Hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada, minimal 2 alat bukti yang sah dan keyakinan Hakim bahwa tindak pidana benar benar terjadi serta terdakwalah pelakunya.

Semua putusan pengadilan hanya sah dan berkekuatan hukum jika diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Putusan pidana ada 3 jenis yaitu putusan pemidanaan, putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur hal-hal yg wajib ada dalam putusan pemidanaan. Salah satu hal yang wajib ada dalam putusan pemidanaan adalah perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.




Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan Putusan yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat (1) (kecuali huruf g & i) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Surat keputusan ditandatangani Hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa/penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan.

Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik. Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa/penasihat hukumnya atas permintaan dari terdakwa/penasihat hukumnya.

Pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap dilakukan jaksa, untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepada jaksa. Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan bahwa begitu jaksa terima salinan putusan hakim/ekstrak vonis, maka jaksa akan eksekusi sesuai bunyi putusan hakim.

Yang sering menjadi masalah adalah terpidana menolak eksekusi putusan pengadilan karena unsur-unsur yang seharusnya ada pada putusan dianggap tidak terpenuhi. Hal ini misalnya terjadi pada perkara Bupati Aru, Maluku, Theddy Tengko terkait putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA). Pengacara Theddy, Yusril Ihza Mahendra tolak eksekusi putusan MA karena majelis kasasi tidak mencantumkan perintah penahanan terdakwa.

Ketentuan tentang pencantuman perintah penahanan kepada terdakwa diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Yusril mengatakan putusan kasasi Theddy batal demi hukum sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena tidak adanya perintah penahanan. Theddy mengajukan permohonan penetapan ke PN Ambon atas tidak dicantumkannya perintah penahanan dalam putusan kasasi MA. Pengadilan Negeri Ambon mengabulkan permohonan Theddy.


Putusan kasasi Theddy non executable. Penetapan PN Ambon kemudian dibatalkan MA dgn penetapan No.01/WK.MA.Y/PEN/X/2012 pd 25 Okt. 2012. MA memutuskan dalam tingkat kasasi adalah pengadilan terakhir & tertinggi, sehingga setelah amarnya diberitahukan, jaksa dapat melaksanakan putusan tersebut. Yang berhak menyatakan putusan kasasi batal adalah pengadilan yang lebih tinggi. Secara hierarki, MA adalah peradilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman. Hakim di tingkat I dianggap tidak punya kewenangan membatalkan/menyatakan batal putusan MA.

Pada 3 Juli 2012, Yusril menguji Pasal 197 ayat (1) huruf k & ayat (2) KUHAP terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k & ayat (2) KUHAP terhadap UUD 1945 diajukan Yusril sebagai kuasa hukum Parlin Riduansyah. Parlin Riduansyah adalah terpidana kasus perambahan hutan di Kalimantan Selatan yang sempat masuk Daftar Pencarian Orang (DPO). Pada 22 November 2012, MK dalam putusan No.69/PUU-X/2012 memutus pengujian Pasal 197 ayat (1) huruf k & ayat (2) KUHAP. MK putusan yang tidak cantumkan perintah penahanan tetap sah dan tidak batal demi hukum. benar bahwa suatu amar putusan pidana tetap perlu ada pernyataan terdakwa ditahan, dst. Tapi ada/tidaknya pernyataan itu tidak dapat jadi alasan mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan hakim dalam amar putusannya. putusan pengadilan harus dianggap benar/sah & mengikat sebelum ada putusan pengadilan lain yang membatalkan.

2.3 Putusan Perkara Pidana

Di dalam peraturan perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berkaitan perkara pidana yaitu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang berbunyi:


Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. Putusan kasasi.

Jadi, berdasarkan penjelasan sebelumnya, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah:
a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat (2) jo. Pasal 234 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), kecuali untuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding (lihat Pasal 67 KUHAP).
b. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa (Pasal 245 ayat [1] jo. Pasal 246 ayat [1] KUHAP).
c. Putusan kasasi
Bagaimana jika putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian diajukan peninjauan kembali (PK)? Apakah putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap? Mengenai hal ini kita dapat menyimak pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) sebagai berikut:

“Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.”

Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (Pasal 268 ayat [1] KUHAP).

Pengaturan secara umum upaya hukum peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 s.d. Pasal 269 KUHAP. Putusan perkara pidana yang dapat diajukan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 263 ayat [1] KUHAP). Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain (Pasal 263 ayat [2] KUHAP):
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

2.4 Putusan Perkara Perdata

Menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 196) ketentuan untuk peninjauan kembali dalam perkara perdata adalah ketentuan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”).

Putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali dengan alasan sebagai berikut (Pasal 67 UU MA):
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Sayangnya, di dalam UU MA tidak diatur pengertian dari putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata. Akan tetapi, kita dapat merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya

Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi.

Berdasarkan penjelasan Pasal 195 HIR tersebut, dapat dikatakan bahwa putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap adalah serupa dengan pengertian putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Grasi.

Seperti halnya dengan perkara pidana, pengajuan peninjauan kembali pada putusan perkara perdata tidak menangguhkan pelaksanaan eksekusinya (Pasal 66 ayat [2] UU MA).


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan sebuah interaksi dengan sesamanya. Dan proses interaksi itu tidak selamanya berjalan dengan baik, namun ada kalanya dihiasi dengan konflik horizontal sehingga dalam kasus ini diperlukan adanya suatu institusi yang menjadi pemutus konflik tersebut. Dalam kehidupan bernegara, institusi ini menjelma dalam bentuk Lembaga-lembaga peradilan.
Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim.Setelah putusan tersebut sudah final dan berkekuatan hokum sacara tetap maka akan dilaksanakan eksekusi(akibat dari putusan tersebut).
Tujuan pihak-pihak yang berperkara menyerahkan perkara-perkaranya kepada pengadilan adalah untuk menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan pengadilan.Tetapi dengan adanya putusan pengadilan bukan berarti sudah menyelesaikan perkara secara tuntas, akan tetapi perkara akan dianggap selesai apabila ada pelaksanaan putusan atau eksekusi.
Dengan kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan pengadilan/hakim . Dan pemulihan tersebut akan tercapai apabila putusan dapat dilaksanakan.Dan dalam makalah singkat ini akan mengemukakan sedikit pembahasan mengenai pelaksanaan putusan/eksek usi
Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
a. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.
b. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya
Pelaksanaan putusan hakim dapat Secara sukarela,atau Secara paksa dengan menggunakan alat Negara,apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.Semua keputusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat Negara .Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.

















DAFTAR PUSTAKA


http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20110715075827AAFdgMS

http://hasyimsoska.blogspot.com/2013/04/eksekusi-putusan-pemidanaan-yang-
telah.html
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50b2e5da8aa7c/kapan-putusan-
pengadilan-dinyatakan-berkekuatan-hukum-tetap

http://artikelthemis.blogspot.com/2008/10/oleh-endra-wijaya-dalam-
mempelajari.html

http://rudini76ban.wordpress.com/2009/09/29/%E2%80%9Cpelaksanaan-
putusan-hakim-eksekusi%E2%80%9D/

No comments:

Post a Comment